MPR Menetapkan Garis Besar Haluan Negara atau GBHN

JakartaWakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengatakan ada faktor yang juga mendorong terkendalanya pembangunan nasional bangsa Indonesia. Salah satunya adanya perubahan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam menetapkan Garis-garis Besar Haluan negara (GBHN) sebelum dan setelah perubahan UUD 1945.

Ia memaparkan, pasal 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum perubahan, MPR menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara, namun setelah adanya perubahan, MPR tidak lagi berwenang menetapkan GBHN.

Konsekuensi dihapuskan kewenangan MPR untuk menetapkan 'haluan negara' dalam bentuk GBHN, maka praktik ketatanegaraan setelah perubahan UUD 1945 dibuat satu 'sistem perencanaan pembangunan nasional' dalam UUD nomor 25 tahun 2004 atau UU SPPN.

Menurut Basarah, penting untuk menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk menutupi kelemahan yang ada dalam undang-undang sistem perencanaan pembangunan nasional (UU SPPN).

"Kita memiliki konsensus hukum sadar atau konstitusi negara kita yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan sekarang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945, kemudian kita juga memiliki konsensus bahasa negara yaitu bahasa indonesia, kita memiliki konsensus sistem sosial dari semboyan bangsa Indonesia yaitu bhinneka tunggal ika, tapi kita saat ini tidak lagi memiliki konsensus haluan negara," ujarnya dalam acara Kongres Nasional II KA.KAMMI secara digital, Sabtu (28/8).

Dengan tidak adanya PPHN tersebut, ia menilai pembangunan nasional bangsa Indonesia seperti tari poco-poco. Hal ini dikarenakan maju dua langkah, mundur tiga langkah. Yang artinya ketika bangsa Indonesia ganti pemimpin maka akan berganti visi-misi pemimpin tersebut.

"Kita mengenal adanya egoisme sektoral diantara mantan-mantan para pemimpin kita. Alhasil banyak sekali contoh pembangunan-pembangunan nasional yang tidak dilanjutkan akibat undang-undang nomor 25 tahun 2004 yang tidak mau mengatur kewajiban pemimpin-pemimpin yang dipilih oleh rakyat berikutnya," ujarnya.

Ia memaparkan dengan ketiadaan haluan negara, telah menempatkan bangsa Indonesia gagap dalam menghadapi beberapa ancaman.

"Ketidaksiapan bangsa Indonesia menghadapi terjadinya pandemi Covid-19. Padahal ancaman seperti perang dan pandemi/wabah adalah sesuatu yang harus diperhitungkan terus menerus karena bisa terjadi sewaktu-waktu."

Selanjutnya, kejutan kemajuan teknologi informasi yang berpengaruh di semua bidang, ketimpangan ekonomi yaitu proporsi kekayaan nasional yang dikuasai oleh 1 persen penduduk dewasa terus meningkat dari sebesar 31,5 persen di 2010 menjadi sebesar 46,6 persen pada 2018.

Serta kondisi ibu kota jakarta yang sudah tidak kondusif sehingga baru di masa Presiden Jokowi direncanakan pindah ibukota.

"Rencana pak Jokowi pindah ibukota, sepanjang tidak ada jaminan hukum yang mengikat secara kokoh agar kalau presiden berikutnya tidak ingin melanjutkan pindah ibukota maka presiden tersebut sangat tidak memiliki sanksi apapun."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkiraan Kerugian Ekonomi Israel Mencapai 2,14 USD Miliar Selama Serangan ke Gaza

Dilaporkan dari Koran Libanon , Pangeran MBS Dukung Israel Menggulingkan Raja Yordania

Cerita SBY Tentang Partai Demokrat Usai Dihamtam Krisis Kasus Korupsi